Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2025

Nickel Indonesia 2026–2027: Oversupply Mengancam, Tapi Growth Story Tetap Kuat

Meskipun harga nikel global terlihat lesu dan tekanan oversupply terus membayangi, cerita pertumbuhan sektor nikel Indonesia ternyata  belum selesai . Justru, data terbaru menunjukkan bahwa  arus pergeseran ke produk bernilai tambah dan ekspansi kapasitas  membuat Indonesia tetap menjadi pusat gravitasi industri nikel dunia. Mari kita bedah ceritanya secara jelas, ringkas, dan tajam. 1. Harga Nikel Global: Tetap Lemah, Oversupply Berlanjut Harga LME Nickel kembali jatuh ke bawah  USD 15.000/ton , sementara stok global melonjak ke level tertinggi dalam 5 tahun—mencapai  300 kt . 70% dari stok LME bahkan berasal dari China, menunjukkan betapa besar tekanan suplai dari Negeri Tirai Bambu.  Proyeksi untuk 2026–2027:  Harga nikel akan stabil di kisaran  USD 14.500–15.000/ton . Faktor utamanya: Permintaan stainless steel China yang masih lemah Kenaikan stok di LME dan SHFE Surplus global yang diperkirakan mencapai  165–261 kt Ni 2. Divergensi Harga...

The Real Edge in Trading: Kecepatan Membaca Informasi, Bukan Indikator

Di dunia trading dan investasi modern,  edge bukan lagi sekadar analisis teknikal atau fundamental tetapi kecepatan dan kualitas informasi . Semakin cepat kita memahami perubahan data, sentimen, dan aliran modal, semakin besar peluang kita berada di sisi yang benar dari pasar. Mayoritas investor gagal bukan karena tidak mampu membaca chart atau tidak mengerti valuasi, tetapi karena: Terlambat mendapatkan informasi penting Saat sebuah data sudah viral, biasanya big players sudah masuk atau keluar jauh lebih dulu. Mengonsumsi informasi dangkal Banyak orang hanya membaca headline, bukan data inti yang sebenarnya menggerakkan harga. Tidak tahu informasi apa yang benar-benar relevan Dalam pasar yang penuh noise, keahlian terbesar adalah memilah mana yang “signal” dan mana yang hanya suara kosong. Tidak punya akses ke sumber data premium Smart money bergerak berdasarkan riset, data real-time, dan insight tingkat institusi—bukan rumor atau berita mainstream. Pada akhirnya,  informasi...

Dividend Play: Saham Pembagi Dividen Lebih Tinggi dari Obligasi 10 Tahun

Jika yield obligasi Indonesia 10Y sekitar 6.5–7%, maka saham-saham berikut  mengalahkan return risk-free , dengan dividen > ID10Y.  Komoditas mendominasi daftar  karena cash-flow besar dan payout tinggi.  Big banks  dividen lebih stabil. Ketika pasar saham bergerak naik-turun mengikuti sentimen global, satu hal yang tetap konsisten memberikan kepastian bagi investor:  dividen . Data di atas menunjukkan bahwa  2026 berpotensi menjadi salah satu tahun paling menarik untuk strategi dividend investing , terutama karena semakin banyak saham Indonesia yang memberikan  dividend yield   lebih tinggi daripada obligasi pemerintah tenor 10 tahun (ID10Y) . Dengan kata lain: 📌  Return dividen = lebih besar dari return “risk-free”. 📌  Income investor akan sangat diuntungkan. Yield obligasi Indonesia tenor 10 tahun (ID10Y) berada di kisaran  6.5–7% . Daftar saham di atas yang  dividend yield-nya melampaui angka tersebut —dan jumlahn...

This Is Not Burry’s or Buffett’s World Lagi: Era Baru Pasar Modal yang Tidak Punya “Mean”

“This is not Burry’s or Buffett’s World.” menggambarkan bahwa dunia yang pernah “dimenangkan” oleh value investor seperti Warren Buffett atau deep-value contrarian seperti Michael Burry  sudah hilang . Dan kuncinya bukan karena investor berubah bodoh. Tapi karena  strukturnya  yang berubah. 1. Kapital Berlimpah: Dunia Tidak Lagi Kekurangan Modal Sejak akhir 1980-an, terutama setelah krisis 2008,  money supply tumbuh jauh lebih cepat dibandingkan GDP . Saat ini, “awan finansial” (cloud of finance) berukuran  6–10 kali lebih besar  dari ekonomi riil.  Artinya: Uang terlalu banyak mengejar aset yang sama Sinyal pasar rusak Aset yang “harusnya murah” bisa tetap mahal Value investing kehilangan akarnya Dalam dunia yang kelebihan modal,  aturan kelangkaan (scarcity) hilang , sehingga harga tidak lagi mengikuti logika klasik supply–demand. 2. Bank Sentral Dipaksa Melakukan Hal-hal Tidak Konvensional Kelebihan modal menciptakan fragilitas baru. Akibatnya ...