Meskipun harga nikel global terlihat lesu dan tekanan oversupply terus membayangi, cerita pertumbuhan sektor nikel Indonesia ternyata belum selesai. Justru, data terbaru menunjukkan bahwa arus pergeseran ke produk bernilai tambah dan ekspansi kapasitas membuat Indonesia tetap menjadi pusat gravitasi industri nikel dunia.
Mari kita bedah ceritanya secara jelas, ringkas, dan tajam.
1. Harga Nikel Global: Tetap Lemah, Oversupply Berlanjut
Harga LME Nickel kembali jatuh ke bawah USD 15.000/ton, sementara stok global melonjak ke level tertinggi dalam 5 tahun—mencapai 300 kt. 70% dari stok LME bahkan berasal dari China, menunjukkan betapa besar tekanan suplai dari Negeri Tirai Bambu. Proyeksi untuk 2026–2027: Harga nikel akan stabil di kisaran USD 14.500–15.000/ton.
Faktor utamanya:
Permintaan stainless steel China yang masih lemah
Kenaikan stok di LME dan SHFE
Surplus global yang diperkirakan mencapai 165–261 kt Ni
2. Divergensi Harga: Metal Lemah, Sulphate & NPI Justru Lebih Kuat
Meski harga nikel metal jatuh, intermediate & chemical products justru menguat.
NPI Discount Menyempit
2023: 33%
2024: 29%
2025 (YTD): 24%
Kenaikan harga saprolite ore Indonesia membuat harga NPI lebih “tahan banting”.
Nickel Sulphate (NiSO₄) Premium Tetap Tinggi
Permintaan precursor baterai (ternary) mendorong NiSO₄ tetap premium. China bahkan mengalami kekurangan 17 kt Ni sulphate, sementara NPI masih surplus 55 kt.
Konsekuensi penting: Produksi metal mulai beralih ke sulphate karena lebih profitable (biaya konversi hanya ~USD 1.000/ton).
3. Regulasi Baru: Pemerintah Menahan Oversupply Masa Depan
Regulasi PP No. 28/2025 membatasi pembangunan smelter baru yang hanya memproduksi intermediates. Fokus diarahkan ke hilirisasi:
✔️ Yang diizinkan: produk downstream (NiSO₄, MHP, Nickel Oxide)
❌ Yang dibatasi: kapasitas baru RKEF/NPI tanpa proyek hilirisasi
Tujuannya:
Mengurangi risiko oversupply
Menjaga keseimbangan hulu–hilir
Mendorong nilai tambah ekspor Indonesia
4. Tantangan Besar: Cadangan Ore Indonesia Tertekan
Cadangan ore Indonesia:
Total: 5.9 miliar wmt
Nickel content: 62 juta ton
Grade: hanya 1.04%
Sementara permintaan ore dari smelter aktif + dalam pipeline: 700 juta wmt per tahun
Jika eksplorasi tidak ditingkatkan, umur cadangan akan menyusut cepat dan menjadi risiko jangka panjang industri nikel nasional.
5. Ekspor Nikel Mengalahkan Batu Bara
Ekspor coal 9M25: USD 17.9 miliar (-21% YoY)
Ekspor nickel (HS 75 + HS 26): USD 19.5 miliar (+22% YoY)
Untuk pertama kalinya dalam sejarah, ekspor nikel melampaui batu bara.
Didorong oleh produk seperti:
Ferronickel
MHP
NiSO₄
Nickel oxide
Ini mengkonfirmasi transformasi struktural Indonesia menjadi tulang punggung supply chain EV global.
6. Kesimpulan: Bull Case Terbesar Ada di Produk Hilir (Chemical Nickel)
Meski nikel metal masih oversupply, cerita pertumbuhan sektor nikel Indonesia tidak rusak.
Justru semakin jelas: Yang menang adalah perusahaan yang punya eksposur ke ore dan chemical nickel (NiSO₄, MHP):
INCO → ekspansi hulu + ore profitability
NCKL → integrasi penuh dari ore sampai chemical
MDKA → diversifikasi + Pani Gold
ANTM → mixed, terbantu regulasi emas tetapi terbebani supply issue
Indonesia tetap menjadi “OPEC of Nickel” berkat:
kapasitas besar
biaya rendah
dan pipeline ekspansi HPAL terbesar di dunia