Langsung ke konten utama

Postingan

Dividend Play: Saham Pembagi Dividen Lebih Tinggi dari Obligasi 10 Tahun

Jika yield obligasi Indonesia 10Y sekitar 6.5–7%, maka saham-saham berikut  mengalahkan return risk-free , dengan dividen > ID10Y.  Komoditas mendominasi daftar  karena cash-flow besar dan payout tinggi.  Big banks  dividen lebih stabil. Ketika pasar saham bergerak naik-turun mengikuti sentimen global, satu hal yang tetap konsisten memberikan kepastian bagi investor:  dividen . Data di atas menunjukkan bahwa  2026 berpotensi menjadi salah satu tahun paling menarik untuk strategi dividend investing , terutama karena semakin banyak saham Indonesia yang memberikan  dividend yield   lebih tinggi daripada obligasi pemerintah tenor 10 tahun (ID10Y) . Dengan kata lain: 📌  Return dividen = lebih besar dari return “risk-free”. 📌  Income investor akan sangat diuntungkan. Yield obligasi Indonesia tenor 10 tahun (ID10Y) berada di kisaran  6.5–7% . Daftar saham di atas yang  dividend yield-nya melampaui angka tersebut —dan jumlahn...
Postingan terbaru

This Is Not Burry’s or Buffett’s World Lagi: Era Baru Pasar Modal yang Tidak Punya “Mean”

“This is not Burry’s or Buffett’s World.” menggambarkan bahwa dunia yang pernah “dimenangkan” oleh value investor seperti Warren Buffett atau deep-value contrarian seperti Michael Burry  sudah hilang . Dan kuncinya bukan karena investor berubah bodoh. Tapi karena  strukturnya  yang berubah. 1. Kapital Berlimpah: Dunia Tidak Lagi Kekurangan Modal Sejak akhir 1980-an, terutama setelah krisis 2008,  money supply tumbuh jauh lebih cepat dibandingkan GDP . Saat ini, “awan finansial” (cloud of finance) berukuran  6–10 kali lebih besar  dari ekonomi riil.  Artinya: Uang terlalu banyak mengejar aset yang sama Sinyal pasar rusak Aset yang “harusnya murah” bisa tetap mahal Value investing kehilangan akarnya Dalam dunia yang kelebihan modal,  aturan kelangkaan (scarcity) hilang , sehingga harga tidak lagi mengikuti logika klasik supply–demand. 2. Bank Sentral Dipaksa Melakukan Hal-hal Tidak Konvensional Kelebihan modal menciptakan fragilitas baru. Akibatnya ...

Ketika yang “Fake” Menjadi Nyata & yang “Real” Terlihat Palsu

Tahun 2026 diproyeksikan sebagai tahun paling paradoks dalam satu dekade terakhir. Ekonomi global berada pada persimpangan unik:  “the best and the worst of times,”  sebuah fase di mana apa yang selama ini dianggap  palsu  menjadi penggerak utama ekonomi, sementara yang  riil  justru kehilangan relevansi. 1. Dunia Berada dalam Era Distorsi: “Fake Turns Real, Real Turns Fake” Fenomena ini muncul karena: 1) Kapitalisasi teknologi & AI tumbuh melampaui ekonomi riil Hyperscalers menunjukkan belanja capex + R&D perusahaan teknologi besar mencapai rekor baru (US$120–160 miliar) dan menyerap hingga  40–45% pendapatan  mereka. Teknologi bukan lagi “sektor,” tetapi  infrastruktur ekonomi . 2) Crypto dan digital asset menjadi bagian dari stabilitas finansial Padahal esensinya bukan aset produktif. Namun grafik market cap crypto menunjukkan kelas aset ini telah menjadi  mainstream liquidity driver . Dunia sekarang bergantung pada aset yang ...

Kenapa Belum Krisis? Jawabannya Satu Penyebabnya Likuiditas Masih Super Longgar

 “Excess liquidity is what contains vols and prevents any meaningful correction.” Bank sentral global masih menyisakan likuiditas besar QT (pengetatan neraca) akan berhenti Ada potensi  moderate rate cuts  hingga 2026 AI boom menciptakan “economic cushion” yang meredam perlambatan Maknanya:  pasar masih punya bantalan likuiditas tebal  untuk menyerap guncangan. Namun Ada Risiko Besar yang Diam-Diam Mengintai… Jika pemerintah membuat kesalahan fatal Jika volatilitas politik memuncak Jika crypto jatuh lebih dalam Jika pasar mulai meragukan likuiditas bank sentral Maka  bubble aset bisa pecah serentak . Tetapi dunia saat ini adalah  asset-based world . Mereka tidak “mengizinkan” harga aset jatuh terlalu dalam — karena efek domino terhadap: kredit perbankan konsumsi investasi kepercayaan publik Karena itu, bank sentral cenderung intervensi untuk menjaga stabilitas pasar. Crypto Crash US$1 Triliun: Sumber Guncangan Terbesar ( Global Crypto Market Cap Down ~...

Akhirnya Inflow Besar Masuk Lagi: Pasar Indonesia Mengalami Broad-Based Inflow Pertama Sejak Agustus

Setelah berbulan-bulan pasar sepi dan aliran modal asing lebih banyak keluar,  minggu lalu menjadi titik balik penting untuk pasar keuangan Indonesia. Untuk pertama kalinya sejak pertengahan Agustus,  dana asing masuk secara serempak ke tiga instrumen sekaligus : saham (IHSG/JCI), government bonds, dan SRBI. 1. SRBI Mencatat Inflow Rp10.3 Triliun — Tertinggi Sepanjang Tahun Instrumen SRBI kembali menjadi primadona asing. Dengan fleksibilitas tinggi, yield menarik, dan fokus BI pada stabilitas rupiah, tidak heran investor global masuk agresif. SRBI net buy: +Rp10.3 triliun (terbesar YTD) 2. Saham Mencatat Net Buy Asing 6 Minggu Beruntun Pasar saham Indonesia mendapatkan dukungan yang luar biasa kuat dari investor global. Minggu ini: +Rp2 triliun net buy 6 minggu berturut-turut asing masuk Total inflow 6 minggu: +Rp19.6 triliun Ini adalah salah satu periode inflow asing paling stabil sejak pandemi. Arus masuk seperti ini biasanya menjadi tanda awal: foreign risk appetite yang me...

Kenapa IHSG Tidak Lagi Mencerminkan Pasar? Jawabannya Ada di Free Float Rendah

Selama ini IHSG dianggap sebagai “wajah” pasar modal Indonesia. Investor—baik retail maupun institusi—menjadikannya rujukan utama untuk melihat arah pergerakan pasar, mengukur risiko, bahkan menentukan strategi alokasi aset. Namun beberapa tahun terakhir, data menunjukkan sesuatu yang berbeda:  IHSG semakin tidak mencerminkan kondisi riil pasar. Ada  distorsi struktural  yang membuat IHSG bergerak “tidak natural,” sehingga indeks ini bisa naik atau turun tanpa mencerminkan supply–demand sebenarnya di pasar saham. Dan penyebab utamanya bukan makro, bukan sentimen asing… tetapi bobot IHSG yang didominasi saham low-free-float. 🔍  1. 23% Bobot IHSG Dikendalikan Saham Free Float Rendah (<30%) Dalam IHSG, bobot ditentukan oleh  market cap , bukan likuiditas. Artinya:  semakin besar kapitalisasi, semakin besar pengaruh terhadap pergerakan indeks , terlepas dari apakah saham tersebut likuid atau tidak. Masalahnya… Banyak saham big-cap Indonesia punya free float...

Metal 2026 Outlook: Rekor Baru 2025 & Apa yang Menanti di 2026?

Tahun 2025 menjadi tonggak bersejarah bagi sektor logam —  harga emas dan tembaga sama-sama menyentuh all-time high . Namun pertanyaan besarnya adalah:  apakah reli ini masih berlanjut di 2026? Ada  3 tema besar  yang akan membentuk arah pasar logam Indonesia tahun depan: 1. Harga Komoditas Masih Tinggi: Supply Ketat, Demand Tetap Kuat Gold Outlook 2026–2027 Fundamental tetap kuat karena: ✔ Pembelian emas bank sentral meningkat ✔ Aliran dana ETF ke emas bertambah ✔ Pertumbuhan suplai global sangat lambat — hanya  +0.3%  di 2024, dan produksi tambang hanya  +0.1% YoY . Artinya:  pasar emas tetap  supply-constrained  → harga tinggi lebih mudah dipertahankan. Copper Outlook 2026–2027 Harga tembaga diproyeksikan tetap tinggi akibat kombinasi: 1️⃣ Gangguan produksi global Freeport Grasberg terdampak longsor & mud-rush → suplai menurun hingga  2027 . 2️⃣ Permintaan struktural terus naik Didorong oleh: elektrifikasi pertumbuhan EV ener...

The Yen Carry Trade: Mesin Likuiditas Dunia & Kapan Unwind Besarnya Tiba

Untuk para pelaku pasar global,  yen carry trade  bukan sekadar strategi ini adalah  tulang punggung likuiditas dunia . Selama puluhan tahun, suku bunga Jepang yang ultra-rendah menjadikan yen sebagai mata uang pendanaan favorit hedge fund, bank, dan investor institusi. Namun meskipun strategi ini sudah dikenal luas,  momen terjadinya “unwind”-nya adalah misteri terbesar dalam makro global. Kali ini Rikopedia akan membahas bagaimana carry trade bekerja, indikator yang perlu diperhatikan, dan sinyal paling jelas kapan pasar sedang mendekati titik rapuhnya. 1. Apa Itu Yen Carry Trade? Yen carry trade memanfaatkan  selisih suku bunga  (interest rate differentials) antara Jepang dan negara lain seperti AS. Prosesnya sederhana: 1. Pinjam yen  dengan biaya hampir nol. 2. Jual yen → beli dolar  (atau mata uang lain). 3. Investasikan  ke aset berimbal hasil lebih tinggi: saham AS, kredit, emerging markets, hingga obligasi pemerintah. 4....