Selama dua tahun terakhir, dunia menyaksikan fenomena langka dalam sejarah ekonomi global: 312 kali pemangkasan suku bunga oleh bank sentral di seluruh dunia, hampir menyamai rekor pasca-krisis 2008. Namun berbeda dari masa lalu, kali ini ekonomi Amerika Serikat justru tumbuh kuat PDB nominal naik 11%.
Skenario yang jarang terjadi ini menciptakan kombinasi yang berbahaya: pertumbuhan tinggi di tengah likuiditas berlebih, atau yang oleh Michael Hartnett (BofA Global Research) disebut sebagai fase “booms, bubbles, and debasement.”
1. Dunia Penuh Likuiditas, Tanpa Resesi
Bank sentral global menurunkan suku bunga dengan kecepatan luar biasa untuk menopang permintaan dan menstimulasi pasar. Hasilnya, likuiditas membanjiri seluruh kelas aset. Namun, berbeda dari periode pasca-Lehman yang diwarnai resesi, kali ini pertumbuhan ekonomi justru masih ekspansif.
Amerika Serikat bahkan mencatat surplus anggaran sebesar USD 198 miliar pada September 2025, sesuatu yang nyaris tak terlihat dalam satu dekade terakhir. Sementara inflasi (CPI) jatuh ke 3%, dan pasar obligasi mulai memproyeksikan fase penurunan yield baru.
Di saat yang sama, pasar keuangan global bergerak seperti roller coaster likuiditas: harga saham, emas, dan obligasi naik bersamaan sinyal klasik dari era money abundance.
2. Indikator BofA: Pasar Sudah full posisi, Tapi Belum Panik
BofA mencatat beberapa indikator sentimen penting:
Bull & Bear Index: 6,2 (Netral) — pasar tidak lagi euforia ekstrem, namun masih terlalu optimistis.
Cash Rule: 3,8% (Sell signal) — dana kas investor sangat minim, menandakan posisi portofolio sudah “all in”.
Breadth Rule: 63,6% (Netral) — partisipasi saham mulai menyempit, tanda pasar mulai kehilangan tenaga.
EPS Growth Model: +9% YoY — pertumbuhan laba global masih menopang optimisme jangka pendek.
“Investor tidak lagi panik membeli, tapi juga belum siap menjual.” Pasar berada di fase overconfidence tenang situasi yang sering menjadi awal dari pembentukan gelembung besar.
3. Perdagangan Global Bergeser: China Menjauh dari AS
Hubungan dagang AS–China terus menegang. Data menunjukkan ekspor rare earth China ke AS turun 26% YoY, sekaligus menandai strategi decoupling ekonomi yang makin nyata.
Sebaliknya, ekspor China ke negara non-AS meningkat pesat sejak 2022, memperkuat pergeseran global supply chain ke Asia Selatan, Timur Tengah, dan Eropa Timur.
Menurut Rikopedia bila terjadi kesepakatan dagang baru antara AS dan China, justru bisa menjadi “akhir dari reli pasar” karena penurunan ketegangan geopolitik dapat memicu profit-taking besar di aset berisiko dan emerging market.
4. Pasar Saham di Titik Puncak Baru
Indeks saham emerging market kini berada di posisi tertinggi ketiga dalam 37 tahun terakhir, menyamai puncak Oktober 2007 dan Februari 2021 dua periode sebelum koreksi besar terjadi.
Di AS, kekayaan ekuitas rumah tangga dan institusi diproyeksikan naik USD 10 triliun pada tahun 2025, menunjukkan kuatnya wealth effect di tengah era suku bunga rendah. Namun, kenaikan ini juga menimbulkan risiko gelembung baru di sektor teknologi dan aset keuangan terutama jika pertumbuhan laba tidak mampu mengimbangi valuasi yang sudah tinggi.
5. Emas, Obligasi, dan “The Last Bubble”
“gelembung terakhir” dalam dekade ini adalah pasar obligasi negatif. Nilai obligasi global dengan yield di bawah 0% telah jatuh dari USD 18 triliun (Des 2020) menjadi hanya USD 28 miliar (Okt 2025) — menandai berakhirnya era “utang gratis”.
Sementara itu, aliran dana global sejak 2020 menunjukkan preferensi investor yang sangat jelas: Cash: +USD 4,5 triliun, Saham: +USD 2,7 triliun, Obligasi: +USD 2,1 triliun, Emas: hanya +USD 0,1 triliun
Ironisnya, meskipun harga emas melonjak 60% sepanjang 2025, alokasi emas di portofolio fund manager global masih sangat rendah (2,4%). Dengan inflow empat bulan terakhir yang melampaui total 14 tahun sebelumnya, ruang kenaikan harga emas masih terbuka lebar.
6. Saatnya Rotasi Aset: Bullish Bonds, Gold, dan International
Michael Hartnett menyimpulkan bahwa siklus besar pasar global kini berada di fase akhir euforia. Investor perlu bersiap untuk rotasi aset menuju instrumen yang lebih defensif.
Obligasi bullish : Yield mulai turun, valuasi menarik, dan potensi capital gain besar saat siklus suku bunga berbalik.
Emas bullish : Masih underowned secara global, menjadi lindung nilai terhadap pelemahan dolar & debasement mata uang.
Emerging market bullish : Rotasi dari aset AS menuju emerging markets dan Eropa yang masih undervalued.
Saham AS netral ke bearish : Valuasi tinggi, posisi investor overweight, risiko koreksi meningkat pasca reli panjang.
Dunia dalam Era “Uang Murah dan Aset Mahal”
Dunia sedang diposisikan untuk booms, bubbles, dan debasement. Likuiditas masih melimpah, pertumbuhan masih kuat, tapi risiko sistemik mulai membesar.
Jika 2024 adalah tahun reli karena pivot The Fed, maka 2026 berpotensi menjadi tahun realignment ketika ekspektasi pasar harus menyesuaikan kembali dengan realitas fiskal, geopolitik, dan struktur utang global.
Investor yang mampu berpindah lebih awal ke aset pelindung nilai seperti emas, obligasi jangka panjang, dan pasar non-AS berpeluang menjadi pemenang di tengah badai besar berikutnya.





