Pasar saham mendapatkan angin segar saat Amerika Serikat dan Tiongkok menyepakati langkah simbolik untuk menurunkan tarif impor. Meski hanya berlaku selama 90 hari, keputusan ini langsung disambut dengan reli di pasar saham global.
Namun, di balik euforia sementara ini, ada pertanyaan besar: apakah ini benar-benar titik balik bagi stabilitas global, atau sekadar jeda di tengah ketegangan jangka panjang?
Isi Kesepakatan Sementara
Tarif yang dikurangi:
Tarif atas barang China ke AS: kini menjadi 41% (gabungan dari “reciprocal”, “fentanyl”, dan tarif dasar). Tarif atas barang AS ke China: turun ke 27.5%.
Kebijakan lain:
China mencabut semua larangan ekspor, sinyal positif bahwa Beijing ingin meredakan ketegangan. AS memberi sinyal akan menurunkan tarif fentanyl, seiring kerja sama China dalam menanggulangi penyelundupan zat mematikan ini.
Masalah Lama Belum Hilang
Kesepakatan ini tidak menyentuh akar masalah yang lebih kompleks, yaitu:
Defisit Dagang AS yang Melebar. Tahun 2024, defisit dagang AS dengan China mencapai $295 miliar. Target pengurangan defisit masih sulit tercapai, apalagi setelah kegagalan “Phase One Deal”yang ditandatangani pada 2020.
Tarif Produk Strategis dan ‘Decoupling’. AS tetap menolak kompromi pada sektor seperti semikonduktor, dan menegaskan niat untuk memisahkan rantai pasok dari China atas nama keamanan nasional.
Ketidakpastian Tarif dan Efeknya ke Bisnis Meski ada penurunan tarif, pengusaha tetap waspada. Perubahan kebijakan yang sering dan tidak terduga membuat perencanaan bisnis jangka panjang menjadi sulit.
Apa Artinya Bagi Investor?
Dunia mulai beralih dari AS sebagai pusat utama risiko dan return. Dengan AS kehilangan rating kredit sempurna dan yield Treasury terus naik, investor global mulai melirik pasar negara berkembang (EM) dan emas sebagai pilihan alternatif.
Gencatan dagang ini bisa menjadi awal pemulihan hubungan dagang AS-Tiongkok. Namun, tanpa penyelesaian struktural terkait defisit, kebijakan strategis, dan ketegangan teknologi, ini hanyalah jeda sesaat.