Indonesia baru saja merilis data ekonomi kuartal pertama 2025, dan hasilnya mengecewakan. GDP tumbuh hanya +4,87% YoY dan bahkan terkontraksi -0,98% secara kuartalan, menjadikannya pertumbuhan paling lambat sejak Q3 2021.
1. Pemerintah Tahan Belanja, Ekonomi Kehilangan Energi
Salah satu penyebab utama perlambatan ini adalah penurunan tajam belanja pemerintah, terutama pada belanja proyek dan infrastruktur. Efisiensi anggaran dari pemerintahan baru memang terlihat positif secara fiskal, tetapi ini turut menekan pertumbuhan. Efeknya, kontribusi belanja pemerintah ke GDP justru negatif.
2. Investasi Lesu, Pasar Tunggu Kepastian
Pertumbuhan investasi hanya 2,12% YoY, jauh di bawah rerata historis 6%. Ketidakpastian politik (baik dari dalam negeri maupun global seperti pemilu AS) membuat investor wait and see.
3. Konsumsi Domestik Tak Bertenaga, Tapi Bisa Kembali
Padahal ada Ramadhan, diskon tarif listrik, dan subsidi—tapi konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 4,89% YoY, di bawah ekspektasi. Ini mengindikasikan bahwa daya beli masih belum pulih sepenuhnya, bahkan dengan stimulus.
4. Pasar Tenaga Kerja Bergeser ke Sektor Informal
Tingkat pengangguran turun menjadi 4,76%, tapi ternyata mayoritas pertumbuhan kerja justru terjadi di sektor informal. Artinya, kualitas pekerjaan menurun.
5. Bank Indonesia Siap Pangkas Suku Bunga?
Inilah highlight terpenting untuk pasar: Dengan inflasi melandai, rupiah menguat, dan pertumbuhan ekonomi melemah—Bank Indonesia punya ruang untuk menurunkan suku bunga dalam waktu dekat.
Ini bisa menjadi katalis positif besar untuk pasar saham. Suku bunga yang lebih rendah: Menurunkan biaya modal bagi emiten, Mendorong pertumbuhan sektor properti, konstruksi, dan consumer finance, Memicu aliran dana ke aset-aset berisiko, termasuk saham