Selama dua tahun terakhir, pasar saham Asia dipenuhi narasi “AI adalah segalanya”. Dari Taiwan hingga Korea, euforia AI mendorong valuasi melonjak dan membuat investor global menumpuk posisi di sedikit nama besar—bahkan rata-rata portofolio Asia memiliki 10% hanya di satu saham: TSMC. Namun menurut Rikopedia tahun 2026 justru menjadi titik balik: rotasi keluar dari crowded trades AI dan masuk ke pasar yang undervalued seperti India dan Indonesia.
AI: Antara peluang besar & tanda-tanda kejenuhan
Euforia AI memiliki kemiripan dengan dot-com boom tahun 2000. Grafik di atas menunjukkan bahwa rally AI Asia saat ini mirip dengan pola Nasdaq saat puncak gelembung teknologi. Perbedaannya? Perusahaan AI sekarang lebih matang dan profitabel—TSMC, NVIDIA, Hynix bukanlah eToys. Namun tetap saja, ruang untuk menambah posisi sudah sangat sempit. Banyak fund manager sudah overweight maksimal.
Di saat yang sama, hanya 3% konsumen global yang membayar layanan AI—angka yang menunjukkan bahwa monetisasi AI masih di tahap awal. Jika biaya investasi data center terus naik dan pendapatan belum cukup, risiko koreksi tetap ada.
AI tetap penting, tetapi momentum 2026 akan bergeser ke peluang lain di Asia.
Fokus Baru Investor 2026: India dan Indonesia
1. India: Valuasi lebih masuk akal, flow siap kembali
India adalah underweight terbesar di portofolio GEM, hanya 25% fund yang overweight. Setelah terkoreksi, valuasi India kini lebih menarik dibanding China. Earnings diprediksi pulih, terutama dari:
Ekspansi margin perbankan
Sektor consumer yang pulih dari inflasi
Penurunan suku bunga & dampak GST terhadap otomotif
ndia dan China bisa sama-sama rally, karena sumber inflow berbeda—China digerakkan investor domestik, bukan global.
2. Indonesia: Hidden gem Asia Tenggara
Dibandingkan Singapura dan Vietnam yang naik +25% tahun ini, FTSE Indonesia justru tertinggal -6%. Tapi justru inilah peluang. Indonesia: “Sangat murah dan diabaikan."
Highlights penting:
• Valuasi terdiskon
Forward PER 12.3x, satu standar deviasi di bawah rata-rata 10 tahun.
• Earnings recovery
Lompatan dari -7% (2025) → +11% (2026).
• Dividend yield super menarik
Yield bank besar Indonesia 7–9%, sementara yield obligasi pemerintah 10 tahun hanya 6%. Indonesia juga tercatat sebagai negara dengan kenaikan payout ratio terbesar di Asia dalam 10 tahun terakhir.
• Penopang IHSG 2025 tidak sehat
HSBC mencatat bahwa kenaikan IHSG tahun ini lebih dipengaruhi sektor kecil seperti:
AI / data center
Energy transition
Grup Barito
Sementara bank & consumer goods—biasanya tulang punggung—belum perform. Artinya, jika sektor besar kembali pulih, Upside IHSG masih sangat panjang.
China: Rally masih bisa lanjut, tapi butuh earnings
China mengalami fenomena unik:
Pasar saham naik
Earnings justru stagnan hanya 4% (2025)
Tapi valuasi belum bubble
Investor domestik mengalirkan dana luar biasa: USD 168 miliar melalui Southbound Connect tahun 2025.
Namun untuk 2026, EPS harus tumbuh 16% agar rally berlanjut. Sumber pertumbuhan utama berasal dari:
Internet giants (Tencent, Alibaba, PDD)
EV (BYD, NIO, Xiaomi)
Pemulihan konsumsi
Jika kebijakan berubah atau muncul guncangan geopolitik, kepercayaan investor bisa cepat hilang. China bullish, tapi bersyarat.
Asia 2026: Dividen jadi tema besar
Asia masih memiliki payout ratio terendah di dunia, padahal:
Dividen Asia sudah lebih dari dua kali lipat dalam 20 tahun
Kondisi neraca perusahaan sangat sehat
Free cash flow melimpah
Indonesia, Singapura dan Hong Kong tercatat sebagai negara dengan kenaikan payout tertinggi.
Bagi investor dividen, 2026 adalah tahun emas.

