Pemerintah resmi menerapkan pajak ekspor emas melalui PMK No. 80 Tahun 2025, yang mulai efektif per 23 Desember 2025. Kebijakan ini menetapkan bea keluar emas di kisaran 7,5%–15%, tergantung harga emas global dan bentuk produk yang diekspor.
Langkah ini menjadi game changer penting bagi sektor emas nasional—bukan hanya berdampak pada margin emiten tambang, tetapi juga mengubah peta winners & losers di industri emas Indonesia.
Detail Kebijakan: Tarif Pajak Ekspor Emas
Berdasarkan regulasi terbaru, tarif pajak ekspor emas ditentukan oleh:
Harga emas acuan global
Bentuk produk emas (doré, bullion, granules, minted bars)
Untuk emas doré, tarif pajak bisa mencapai 15% saat harga emas ≥ USD 3.200/oz. Sementara produk emas yang lebih “advanced” seperti minted bars dikenakan tarif lebih rendah, yakni 7,5%–10%.
Formula perhitungannya cukup sederhana namun berdampak besar:
Tarif x Kuantitas x Harga Ekspor x Nilai Tukar
Artinya, saat harga emas global tinggi, beban pajak miner ikut naik signifikan.
Dampak Utama: Headwind untuk Miner Emas
kami menegaskan bahwa kebijakan ini menjadi tekanan (headwind) bagi emiten tambang emas yang masih mengandalkan pasar ekspor
Beberapa dampak kunci:
AMMN & MDKA berpotensi mengalami penurunan EPS 2026F masing-masing hingga 16,0% dan 14,5% jika tidak mengalihkan penjualan ke pasar domestik.
UNTR juga terdampak, dengan estimasi EPS downside 8,6%.
Selisih harga emas domestik vs harga ekspor pasca pajak berpotensi memicu negosiasi harga lebih rendah dari pembeli.
Namun tekanan ini tidak merata, tergantung fleksibilitas model bisnis masing-masing emiten.
Indonesia Net Importer Emas: Peluang Pasar Domestik
Data menunjukkan Indonesia adalah net importer emas secara struktural. Pada 2025, net import emas mencapai sekitar 26,5 ton, menegaskan kuatnya permintaan domestik.
implikasinya:
Miner memiliki opsi realistis untuk mengalihkan penjualan ke dalam negeri
Permintaan domestik yang kuat membatasi potensi diskon harga terlalu dalam
Refinery dan trader emas domestik justru terdorong untuk mengamankan pasokan lokal
Dengan kata lain, emas tidak kelebihan supply—yang berubah hanyalah jalur distribusinya.
Winners: Refinery & Trader Emas Domestik
Di sisi positif, kebijakan ini justru menjadi tailwind kuat bagi pemain refinery, khususnya:
ANTM
HRTA
Kami melihat peluang kenaikan volume trading emas ANTM hingga 35 ton di 2026F (+20% YoY), bahkan masih di bawah guidance manajemen sebesar 40 ton.
Fakta penting:
Hanya 20–25% pasokan emas ANTM & HRTA berasal dari miner
Kapasitas refinery domestik masih underutilized
Kebijakan ini mendorong substitusi ekspor refining lokal
Artinya, value chain emas makin bergeser ke hilir.
Kasus Khusus: Siapa Paling Aman?
ARCI relatif fleksibel karena memiliki fasilitas trading & refinery sendiri (PT EMAS), dengan utilisasi baru 20–30%.
BRMS hampir tidak terdampak karena 100% penjualan ke pasar domestik.
Ini menegaskan bahwa struktur bisnis lebih penting daripada sekadar harga emas.
Kesimpulan Investor: Bukan Akhir, Tapi Rotasi
Pajak ekspor emas bukan sentimen bearish total untuk sektor emas. Ini adalah:
Tekanan jangka pendek bagi miner eksportir
Katalis struktural positif bagi refinery & hilirisasi
Dorongan rotasi model bisnis, bukan penghancur profit
Bagi investor, fokus ke depan bukan lagi “harga emas naik atau turun”, melainkan:
Siapa yang paling diuntungkan dari perubahan rantai nilai emas Indonesia?
Dan jawabannya semakin jelas: refinery & pemain domestik.