Memasuki 2026, pemerintah Indonesia menyiapkan strategi fiskal yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Setelah periode belanja yang relatif konservatif, APBN 2026 hadir dengan komitmen besar untuk mengangkat daya beli masyarakat dan memulihkan konsumsi rumah tangga—komponen terbesar dalam PDB Indonesia.
Tiga program inti menjadi pusat kebijakan populis 2026, dengan total alokasi mencapai:
Free Nutritious Meal: Rp335 triliun
Social Assistance: Rp167,4 triliun
Energy Subsidy: Rp210 triliun
⭐ Total Belanja Populis 2026: Rp712,4 triliun
Ini adalah salah satu skala stimulus fiskal terbesar dalam sejarah Indonesia modern.
1. Free Nutritious Meal — Rp335 Triliun
Program makan bergizi ini akan mencapai 82,9 juta penerima, mencakup:
Pelajar SD–SMA
Ibu hamil
Lansia dan kelompok rentan
Selain bertujuan meningkatkan kualitas kesehatan, program ini memiliki dampak ekonomi langsung:
📌 Efek ekonomi:
Meningkatkan permintaan makanan, minuman, dan produk consumer staples
Menggerakkan industri dairy, roti, makanan kemasan, dan logistik
Mengalirkan likuiditas langsung ke rantai pasokan makanan nasional
Bagi investor, program ini menjadi tailwind kuat bagi emiten seperti ICBP, MYOR, ROTI, dan TSPC.
2. Social Assistance — Rp167,4 Triliun
Komponen ini mencakup:
PKH (Family Hope): 10 juta keluarga
Non-Cash Food Aid: 18,3 juta keluarga
PIP/KIP Kuliah: 22,3 juta siswa
BPJS PBI: 96,8 juta penerima
Ini adalah backbone dari daya beli kelompok menengah-bawah, kelompok yang paling sensitif terhadap perubahan pendapatan.
📌 Efek ekonomi:
Disposable income meningkat
Konsumsi kebutuhan dasar membaik
Risiko penurunan belanja masyarakat berkurang signifikan
Program ini membuat konsumsi menjadi lebih stabil, meskipun ekonomi global melambat.
3. Energy Subsidy — Rp210 Triliun
Subsidi energi tetap dinaikkan, meskipun harga minyak dunia turun.
Subsidi listrik +17,4% YoY
Subsidi LPG +16,9% YoY
📌 Efek ekonomi:
Menekan biaya hidup rumah tangga
Memberi ruang bagi konsumsi non-energi
Mendorong multiplier effect ke sektor-sektor lain
Rumah tangga yang tidak lagi terbebani tarif energi cenderung meningkatkan pengeluaran pada barang konsumsi, retail, dan leisure.
4. Apa Artinya Total Belanja Populis Rp712,4 Triliun?
Ini bukan sekadar angka besar—ini adalah game changer untuk ekonomi domestik.
Dampak makro yang paling signifikan:
1. Konsumsi rumah tangga akan mengakselerasi
Belanja populis terbukti memiliki korelasi kuat dengan pertumbuhan konsumsi. Data historis menunjukkan:
2004–2014: populist spending 3,9% PDB → konsumsi tumbuh rata-rata 5%
2015–2024: populist spending turun ke 1,6% PDB → konsumsi melambat ke 4,9%
2026 menghadirkan 2,8% PDB, jauh lebih tinggi dari tren 10 tahun terakhir.
2. Sektor consumer staples akan menjadi pemenang utama
Mulai dari mie instan, makanan ringan, dairy, minuman, obat bebas, hingga roti.
ICBP, MYOR, ROTI, KLBF berpotensi menikmati lonjakan permintaan.
3. Profitabilitas retail dan telco ikut terdorong
Dengan daya beli yang membaik:
MAPI (retail premium) pulih
Telco—ISAT & TLKM—mendapat tambahan profit dari ARPU yang naik
4. Sentimen IHSG akan lebih konstruktif
Program populis berskala besar selalu menjadi salah satu katalis untuk:
Kenaikan earnings sektor domestik
Masuknya dana asing (flow-driven rally)
2026 berpotensi menjadi tahun di mana “domestic-driven rally” menggantikan dominasi komoditas.
Indonesia Bersiap Memasuki Super Cycle Konsumsi 2026–2027
Dengan total Rp712,4 triliun program populis, APBN 2026 memberi sinyal sangat kuat bahwa pemerintah ingin:
Mengangkat konsumsi
Mendorong pertumbuhan ekonomi
Mengurangi tekanan biaya hidup
Meningkatkan pendapatan kelompok menengah-bawah
Menjaga stabilitas makro
Bagi investor, ini adalah salah satu lingkungan makro paling kondusif untuk sektor-sektor domestik dalam beberapa tahun terakhir.
Sektor yang paling diuntungkan:
Consumer Staples
Retail & Lifestyle
Telco
Transportasi & Jalan Tol
Property mid-to-mass
2026 bukan hanya tahun fiskal ekspansif—ini adalah tahun di mana banjir stimulus bertemu momentum pemulihan konsumsi, menciptakan peluang besar bagi investor yang tepat waktu.
