Meski pasar logam dasar masih diwarnai ketidakpastian, momentum makroekonomi global justru menjadi penggerak utama harga komoditas. Harga logam—terutama tembaga, aluminium, dan seng—lebih dipengaruhi oleh sentimen kebijakan dan kondisi makro ketimbang dinamika pasokan dan permintaan.
Geopolitik dan Kebijakan AS Jadi Penentu
Kabar positif datang dari penundaan ekspor kontrol AS–China selama setahun. Meski reaksi pasar minim, langkah ini mengurangi risiko geopolitik dan memberi dorongan positif pada harga komoditas. Selain itu, Mahkamah Agung AS tengah meninjau legalitas tarif era Trump. Jika tarif dibatalkan, dolar AS berpotensi melemah—yang biasanya menjadi katalis kenaikan harga logam dasar. Namun, Trump masih memiliki sejumlah opsi hukum untuk melindungi industri dalam negeri, sehingga ketidakpastian tetap tinggi.
Tembaga: Terbang Karena Harapan, Turun Karena Powell
Harga tembaga sempat menembus rekor tertinggi pada akhir Oktober 2025 di tengah ekspektasi penurunan suku bunga The Fed dan gangguan pasokan. Namun, komentar hawkish Jerome Powell menekan harga kembali karena penguatan dolar AS. Menariknya, meski stok global naik 229 ribu ton, investor tetap menambah posisi beli (long). Artinya, pasar lebih digerakkan oleh sentimen makro ketimbang fundamental fisik.
Aluminium: Didukung Tariff Effect dan Gangguan Pasokan
Harga aluminium terus naik sejak September berkat gangguan produksi di Islandia dan Mozambik serta kekhawatiran terhadap proyek baru di Indonesia. Di Amerika Serikat, premi aluminium melonjak akibat tarif impor 50%, sedangkan di Eropa meningkat menjelang implementasi Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM). Namun, investor mulai waspada karena posisi beli mulai terlihat “stretch,” menandakan potensi koreksi jangka pendek.
Nikel: Oversupply Tak Jatuhkan Harga
Walaupun pasokan nikel global masih berlebih, harga tetap bertahan di kisaran USD 14.800–15.600 per ton. Sekitar 40% industri nikel masih beroperasi di bawah titik impas, sementara pertumbuhan permintaan dari baterai kendaraan listrik bergeser ke teknologi LFP (rendah nikel). Pertumbuhan konsumsi semu di Tiongkok menunjukkan akumulasi stok besar-besaran—indikasi bahwa harga saat ini tidak sepenuhnya mencerminkan permintaan riil.
Zinc dan Lead: Kisah Dua Arah
Seng (Zinc) naik mengikuti tembaga, namun kekurangan stok LME membuat pasar masuk ke fase backwardation ekstrem hingga USD 440/ton. Produksi tambang meningkat, tetapi produksi smelter masih tertahan akibat gangguan teknis dan lingkungan. Sebaliknya, timbal (Lead) masih tidak diminati investor meski stok melimpah. Harga stabil di sekitar USD 2.000/ton dan transaksi lebih banyak didorong strategi arbitrase antar bursa.
Dalam pasar logam dasar saat ini, fundamental bukanlah penentu utama. Sentimen makro—kebijakan moneter, tarif, dan arah dolar AS—lebih berpengaruh terhadap harga dibanding keseimbangan pasokan-permintaan. Dengan The Fed yang belum pasti menurunkan suku bunga Desember ini dan tensi geopolitik masih tinggi, investor logam dasar harus siap menghadapi volatilitas berbasis kebijakan, bukan sekadar data produksi.