Tahun 2024–awal 2025 adalah masa yang berat bagi pasar saham Indonesia. Kombinasi tight liquidity, suku bunga tinggi, pelemahan ekonomi global, dan arus keluar asing membuat banyak investor memilih mode defensif. IHSG sempat jatuh dalam, valuations terdiscount, dan sentimen berada di level rendah. Namun memasuki akhir 2025, anginnya berbalik.
Keadaan yang menekan pasar selama 2 tahun terakhir mulai hilang satu per satu. Dan untuk pertama kalinya sejak pandemi, kombinasi makro, fiskal, dan likuiditas semuanya mulai sinkron ke arah positif.
1. Global: Tailwind Mulai Datang Dari The Fed
➡️ The Fed di jalur untuk menurunkan suku bunga hingga 3% pada akhir 2026
➡️ Dot-plot terbaru memang lebih konservatif (3,5%), tetapi arah besarnya tetap dovish
➡️ Fed menghentikan pengetatan neraca (QT freeze) per 1 Desember 2025
Artinya:
✔ Likuiditas global tidak lagi mengering
✔ Dolar AS berpeluang melemah
✔ Aliran dana ke emerging markets, termasuk Indonesia, bisa kembali deras
Selama 2022–2024, kenaikan suku bunga agresif Fed membuat arus modal keluar dari EM. Kini situasinya berbalik arah.
Global headwind → berubah menjadi tailwind.
2. Indonesia: BI Sudah Masuk Mode Pro-Growth
🔻 BI Rate sudah turun dari puncak 6,25% (mid-2024)
🔻 Hingga Oktober 2025, BI telah menurunkan suku bunga 150 bps ke level 4,75%
Tidak hanya itu, BI juga:
• Menurunkan GWM
• Melakukan macroprudential easing
• Menghentikan penerbitan SRBI sehingga likuiditas kembali longgar
Pesannya jelas: BI ingin memulihkan permintaan domestik dan mendorong kredit.
Konsekuensinya:
✔ Yield obligasi turun → valuasi saham naik
✔ Likuiditas perbankan membaik
✔ Permintaan kredit mulai pulih
3. Fiskal 2026: Pemerintah All-in untuk Mendorong Konsumsi
Pemerintah menganggarkan:
📌 Kenaikan belanja sosial +9% YoY → terbesar sejak pandemi
📌 Program MBG (Makan Bergizi Gratis) melonjak 3x lipat menjadi Rp335 triliun
📌 Potensi penurunan tarif PPN dari 11% → 8%
📌 Perluasan insentif sektor properti (PPN DTP hingga 2027)
Fokus APBN 2026:
Meningkatkan daya beli – memperkuat konsumsi – mendorong multiplier effect.
“Positive impulse with pro-liquidity bias.”
Ini adalah kombinasi yang “ramah pasar”—mirip dengan fase bullish 2010–2012 ketika fiskal dan moneter sama-sama ekspansif.
4. Valuasi IHSG: Undemanding + Earnings Rebound di 2026
✔ Valuasi sebagian besar sektor masih di bawah rata-rata historis
✔ Earnings growth 2025 relatif flat, namun 2026 diproyeksi pulih kuat
✔ Blue chip menjadi motor penggerak berikutnya
Contohnya:
Sektor finansial:
– NPL stabil
– Cost of credit turun
– Kredit tumbuh konsisten (grafik loan growth hal. 7)
Sektor consumer & retail:
– Didorong daya beli dan insentif fiskal
Sektor cement & property:
– Diuntungkan cut rate + stimulus PPN
Sektor telco:
– Konsolidasi + belanja modal yang makin efisien
Dengan valuasi murah dan earnings tumbuh, IHSG punya ruang kenaikan yang sehat.
5. Foreign Flow: Dari Outflow ke Inflow Besar-Besaran?
✔ Penurunan kepemilikan asing sejak 2022 memberikan “amunisi” untuk re-rating
✔ BPJS Ketenagakerjaan meningkatkan porsi equity
✔ Rating downgrade AS berpotensi membuat dana global pindah ke pasar EM berimbal hasil tinggi
Masuknya kembali dana asing bisa menjadi:
➡️ Katalis terbesar IHSG dalam 12 bulan ke depan.
Jika The Fed benar-benar ke 3% dan USD melemah, rotasi dana global dapat sangat agresif.
6. IHSG Berpotensi Memasuki Siklus Bullish Baru
2026–2027 berpotensi menjadi fase awal bull market baru
Karena:
Fed dovish → tailwind global
BI easing → suku bunga rendah
Fiskal ekspansif → konsumsi & multiplier naik
Likuiditas membaik → bank lending pulih
Valuasi murah → ruang re-rating besar
Arus asing siap kembali
Seluruh elemen yang menekan pasar sejak 2022 kini berbalik arah. Bulls are back on the runway.
