Selama ini IHSG dianggap sebagai “wajah” pasar modal Indonesia. Investor—baik retail maupun institusi—menjadikannya rujukan utama untuk melihat arah pergerakan pasar, mengukur risiko, bahkan menentukan strategi alokasi aset.
Namun beberapa tahun terakhir, data menunjukkan sesuatu yang berbeda: IHSG semakin tidak mencerminkan kondisi riil pasar.
Ada distorsi struktural yang membuat IHSG bergerak “tidak natural,” sehingga indeks ini bisa naik atau turun tanpa mencerminkan supply–demand sebenarnya di pasar saham.
Dan penyebab utamanya bukan makro, bukan sentimen asing…
tetapi bobot IHSG yang didominasi saham low-free-float.
🔍 1. 23% Bobot IHSG Dikendalikan Saham Free Float Rendah (<30%)
Dalam IHSG, bobot ditentukan oleh market cap, bukan likuiditas.
Artinya: semakin besar kapitalisasi, semakin besar pengaruh terhadap pergerakan indeks, terlepas dari apakah saham tersebut likuid atau tidak.
Masalahnya…
Banyak saham big-cap Indonesia punya free float sangat rendah.
Free float <30%
Volume transaksi tipis
Tidak mencerminkan aktivitas jual-beli nyata
Sangat mudah digerakkan oleh transaksi bernilai kecil
Ketika saham-saham ini naik (atau “dinaikkan”), IHSG bisa terlihat rally — padahal uang sebenarnya tidak mengalir ke pasar.
Inilah yang menciptakan distorsi.
2. Hasilnya: IHSG Naik, Tapi Trader dan Investor Tidak Merasakannya
✔ sedikit saham besar yang ditarik ke atas
✔ saham low-free-float yang mudah digerakkan
✔ kenaikan harga tidak merepresentasikan arus uang riil
Investor retail pun sering bertanya:
“IHSG naik, kok portofolio aku merah?”
“Kenapa LQ45 dan IDX30 tidak menguat sebesar IHSG?”
Jawabannya: karena IHSG bergerak bukan karena likuiditas pasar, melainkan karena distorsi bobot.
3. LQ45 Lebih Jujur: Mewakili 80% Nilai Transaksi Riil di Pasar
Di sisi lain, LQ45 justru lebih mencerminkan aktivitas pasar yang sebenarnya, karena berisi saham:
likuid
aktif diperdagangkan
dimiliki institusi lokal & asing
memiliki free float besar
pergerakan berdasarkan supply–demand asli
LQ45 ibarat “denyut nadi” pasar Indonesia.
Ketika dibandingkan dengan IHSG, gap-nya terlihat ekstrem:
IHSG sudah cetak rekor baru
LQ45 masih jauh dari ATH-nya
Pasar sebenarnya masih lemah, tetapi IHSG terlihat kuat
Dengan kata lain:
IHSG mencerminkan kapitalisasi, bukan transaksi.
LQ45 mencerminkan uang riil yang mengalir.
4. Gap IHSG vs LQ45 — Bukti Adanya Distorsi Struktural
Perbedaan performa kedua indeks ini adalah alarm besar:
IHSG seakan “sehat,” padahal pasar tidak likuid
LQ45 tertinggal jauh, karena uang riil belum masuk
Perbedaan ini menunjukkan indeks utama kita tidak lagi efisien
Ini bukan masalah jangka pendek.
Ini masalah struktural: cara IHSG disusun membuatnya rentan dimanipulasi oleh segelintir saham.
5. Implikasi bagi Investor & Trader
A. Gunakan LQ45 atau IDX30 untuk membaca pasar
Karena keduanya lebih merefleksikan:
arah uang institusi
tekanan jual-beli riil
mood pasar yang sebenarnya
B. Jangan terlalu percaya IHSG dalam menentukan risk-on/risk-off
IHSG bisa naik tanpa adanya inflow.
C. Rotasi sektor dan sentimen lebih mudah terbaca di LQ45
Karena pergerakannya alami.
D. Evaluasi portofolio berdasarkan indeks yang likuid
IHSG bukan benchmark terbaik untuk performa pribadi.
IHSG Sudah Tidak Relevan Sebagai Cermin Pasar
Selama 23% bobotnya terkonsentrasi pada saham-saham low-free-float, IHSG akan terus menjadi indeks yang mudah terdistorsi.
Investor perlu sadar bahwa:
IHSG bukan indikator terbaik untuk membaca kekuatan pasar.
LQ45 lebih natural dan lebih jujur.
Gap IHSG–LQ45 adalah bukti ketidakefisienan struktur indeks kita.
Selama masalah ini belum diperbaiki, IHSG akan tetap terlihat “indah dari jauh,” padahal kondisi pasar sebenarnya jauh lebih rapuh dari yang terlihat.


